PENGAMBILALIHAN TRANSAKSI NON-SYARIAH KE TRANSAKSI SYARIAH (TAKE OVER)

Pada artikel sebelumnya telah dijelaskan tentang hukum haramnya riba. Riba tergolong dosa besar, dapat menghilangkan amal kebajikan, mendapatkan ancaman peperangan dari Allah dan Rasul, serta ancaman kekal di dalam neraka. Bagi setiap umat Islam wajib hukumnya untuk meninggalkan riba agar hidupnya selamat dunia akhirat. Lalu bagaimana dengan mereka yang sudah terlanjur terjebak di dalam transaksi riba? Selama ini banyak yang sudah terlanjur kredit kepemilikan rumah, mobil dan sepeda motor di Bank konvensional atau lembaga keuangan konvensional. Solusinya adalah agar bertaubat kepada Allah dan hijrah ke Bank Syariah atau lembaga keuangan syariah. Bagaimana dengan sisa pinjaman/kredit di bank/lembaga pembiayaan konvensional yang belum lunas? Solusinya adalah mengajukan pengambilalihan transaksi non-syariah ke transaksi syariah (take over) ke bank syariah atau lembaga pembiayaan syariah.

Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama’ Indonesia telah mengeluarkan fatwa terkait take over tersebut, yaitu fatwa nomor 31/DSN-MUI/VI/2002 tentang Pengalihan Utang. Pengalihan transaksi non-syariah yang telah berjalan menjadi transaksi yang sesuai syariah di dalam fatwa tersebut dapat menggunakan empat alternative, yaitu :

• Menggunakan akad al-Qardh, al-Bai’ wa al-Murabahah;
• Menggunakan akad al-Syirkah al-Milk wa al-Murabahah;
• Menggunakan akad al-Qardh wa al-Ijarah;
• Menggunakan akad al-Qardh, al-Bai’ , wa al-Ijarah Muntahiya Bi al-Tamlik (IMTB).

Alternatif pertama
Lembaga Keuangan Syariah (LKS) memberikan qardh (pinjaman murni) kepada nasabah. Dengan pinjaman murni tersebut nasabah melunasi kredit (utangnya) dan dengan demikian asset yang dibeli dengan kredit tersebut menjadi milik nasabah secara penuh. Selanjutnya, nasabah menjual asset tersebut kepada LKS, dan dengan hasil penjualan itu nasabah melunasi pinjamannya kepada LKS. Setelah asset tersebut menjadi milik LKS, kemudian LKS menjual secara murabahah (jual beli dengan menyebutkan harga pokok dan margin keuntungan yang diambil) asset yang telah menjadi miliknya kepada nasabah, dengan pembayaran secara cicilan.
Alternatif pertama ini rawan terhadap riba karena bisa terjerumus pada bai’ al-‘inah, hukumnya haram. Kata ‘inah menurut al-Jauhari bermakna pinjaman dan utang (Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah). Jual beli ini disebut al-‘inah karena sebenarnya seseorang bukan menginginkan barang, namun yang diinginkan adalah uang (pinjaman). Mediator transaksinya adalah barang (‘ain). Supaya tidak terjadi jual beli ‘inah, maka setiap tahapan di dalam alternative pertama harus diselesaikan dulu akad/transaksinya dan ada jeda dengan transaksi berikutnya.
transaksi syariah


Alternatif kedua (Recommended)
LKS membeli sebagian asset nasabah, dengan seizin Lembaga Keuangan Konvensional (LKK); sehingga dengan demikian terjadilah syirkah al-Milk (kerjasama kepemilikan) antara LKS dan nasabah terhadap asset tersebut. Bagian asset yang dibeli oleh LKS adalah bagian asset yang senilai dengan utang (sisa cicilan) nasabah kepada LKK. Selanjutnya LKS menjual secara murabahah bagian asset yang menjadi miliknya tersebut kepada nasabah, dengan pembayaran secara cicilan. Alternative kedua ini lebih aman karena diawalnya adalah syirkah antara nasabah dengan Bank Syariah dalam hal kepemilikan asset. Kemudian bagian milik Bank Syariah dijual ke nasabah dengan murabahah, diangsur sesuai kesepakatan.
syariah


Alternatif ketiga
Nasabah ingin mengurus kepemilkan penuh rumahnya yang belum lunas di bank konvensional. Nasabah kemudian mendatangi LKS untuk mengajukan permohonan take over. Berikutnya dibuatlah akad al-Ijarah (imbalan jasa) antara LKS dengan nasabah dalam pengurusan untuk memperoleh kepemilikan penuh atas rumah nasabah di bank konvensional. Jika nasabah belum memiliki uang untuk melunasi rumahnya ke bank konvensional, LKS bisa memberikan talangan pinjaman murni (al-Qardh) kepada nasabah agar dirinya bisa melunasi pinjamannya di bank konvensional. Akad al-Ijarah ini tidak boleh dipersyaratkan dengan (harus terpisah dari) pemberian talangan. Besar imbalan jasa al-Ijarah, tidak boleh didasarkan pada jumlah talangan yang diberikan LKS kepada nasabah. Alternatif ketiga ini berbahaya karena bisa terjerumus kedalam riba. Agar tidak terjerumus riba, akad al-Qardh dan akad al-Ijarah harus terpisah. Besarnya fee dalam akad al-Ijarah tidak boleh berdasarkan jumlah pinjaman yang diberikan.
syariah


Alternatif keempat (Recommended)
LKS memberikan pinjaman murni kepada nasabah. Dengan pinjaman tersebut nasabah melunasi kredit (utangnya) dan dengan demikian, asset yang dibeli dengan kredit tersebut menjadi milik nasabah secara penuh. Nasabah kemudian menjual asset tersebut kepada LKS, dan dengan hasil penjualan itu nasabah melunasi pinjamannya kepada LKS. Tahap selanjutnya, LKS menyewakan asset yang telah menjadi miliknya tersebut kepada nasabah, dengan akad al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-Tamlik (akad sewa menyewa yang berakhir dengan kepemilikan). Alternative keempat ini relative aman. Pemindahan kepemilikan asset dalam IMBT dilakukan melalui hibah atau dengan cara membeli dengan harga yang sesuai di akhir masa sewa.
syariah

2 Komentar untuk "PENGAMBILALIHAN TRANSAKSI NON-SYARIAH KE TRANSAKSI SYARIAH (TAKE OVER)"

Assalamualaikum, setuju sekali gan... mulai dari hal kecil yang sering diremehkan membuat hati manusia semakin keras salah satu contohnya adalah terbiasa dengan transaksi riba yang akibatnya kita sering tidak sadar bahwa itu adalah dosa besar.... semoba barokah ngeblognya, jangan lupa mampir http://indonesianfoods313.blogspot.com/ hehehehe....

www.....ok gan sama-sama semoga kita selalu sukses dunia akhirat dg meninggalkan sesuatu yg telah diharamkan oleh Allah, visit ke blog siap meluncur.....

Silahkan tambahkan komentar Anda dengan baik dan sopan

Back To Top