TRANSAKSI YANG HARAM dan SOLUSINYA (bag-3)




Arti dari murabahah ialah akad yang dipergunakan dalam perjanjian jual beli barang dengan menyatakan harga pokok barang dan keuntungan (margin) yang telah disepakati oleh penjual (bank syariah) dan pembeli (nasabah). Bank Syariah membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang sudah disepakati kualifikasinya, dimana Bank Syariah membeli barang yang dibutuhkan oleh nasabah atas nama Bank Syariah sendiri, lalu menjual kembali barang tersebut kepada nasabah sebesar harga jual yaitu harga pokok barang ditambah keuntungan.

Prinsip bagi hasil biasanya digunakan untuk pembiayaan yang sifatnya produktif. Sebagai contoh : Asep ingin mengembangkan usaha produksi sepatu. Modal tambahan yang dibutuhkan senilai Rp 150 juta. Kemuadian Asep mengajukan pembiayaan usaha kepada Bank Syariah sebesar Rp 150 juta. Setelah seluruh persyaratan pengajuan pembiayaan sudah dilengkapi, pihak surveyor Bank akan melakukan penelitian tentang kelayakan pengajuan tersebut. Apabila dinilai layak, maka Bank Syariah akan menyalurkan pembiayaan usaha sepatu kepada Asep. Keuntungan usaha yang berhasil diperoleh Asep, akan dibagi kepada Bank Syariah sesuai dengan nisbah bagi hasil yang telah disepakati, misalkan Asep mendapatkan bagian 60% dari keuntungan, dan Bank Syariah mendapatkan bagian 40% dari keuntungan. Inilah yang dinamakan pembiayaan dengan prinsip bagi hasil menggunakan akad mudharabah.

Mudharabah dalam pembiayaan ini adalah bentuk kerjasama dari pemilik dana (bank syariah/LKS) kepada pengelola dana (nasabah pembiayaan) untuk melakukan kegiatan usaha tertentu, dengan pembagian menggunakan metode bagi untung (profit sharing) atau metode bagi pendapatan (revenue sharing) antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya, sedangkan kerugian ditanggung pemilik dana kecuali jika kerugian tersebut disebabkan kelalaian dan kecerobohan pengelola dana, maka kerugian ditanggung pengelola dana.

Bank Syariah juga menyediakan pembiayaan dengan prinsip sewa-menyewa/upah. Contoh : Asep menginginkan untuk menitipkan perhiasan dan barang berharga lainnya ke dalam safe deposit box (kotak penyimpanan yang aman) yang disediakan oleh Bank syariah. Bank Syariah dalam hal ini akan mengenakan/memberlakukan uang sewa kepada Asep atas transaksi tersebut.
Prinsip sewa menyewa/upah ini juga digunakan oleh pegadaian syariah dalam produk gadai syariah (rahn). Contoh : Asep meminjam uang kepada pegadaian syariah sebesar Rp 100 juta dan menggadaikan emasnya senilai 3 (tiga) ons. Pegadaian syariah akan membuat akad utang piutang (qardh) dan akad wadi’ah dengan Asep. Pinjam meminjam uang Rp 100 juta menggunakan akad qardh, Asep mengembalikan utangnya sebesar Rp 100 juta ke pegadaian dalam jangka waktu yang disepakati tanpa adanya tambahan apapun. Kaitannya dengan titipan emas seberat tiga ons, pegadaian syariah akan meminta biaya penitipan berdasarkan prinsip ijarah (sewa menyewa/upah). Asep mempunyai kewajiaban untuk membayar biaya penitipan emasnya kepada pegadaian syariah sesuai kesepakatan.

Bagaimanakah jika selama ini masih terjerat utang ke bank konvensional, baik untuk kepentingan pribadi/konsumtif (pembelian rumah/kendaraan) atau untuk keperluan usaha? Padahal jelas hukumnya riba/haram. Maka sebagai solusinya adalah menggunakan take over (dipindahkan), pinjaman ke bank konvensional tersebut dapat dialihkan ke Bank Syariah.
Lanjutkan membaca.....CARA TAKE OVER YANG BENAR
0 Komentar untuk "TRANSAKSI YANG HARAM dan SOLUSINYA (bag-3)"

Silahkan tambahkan komentar Anda dengan baik dan sopan

Back To Top